Logo Universitas Gunadarma

Kamis, 03 Juni 2010

MUSEUM KARST Jangan Hanya Jadi Menara Gading di Lahan Kering

undefined

KOMPAS/ANTONY LEE

Museum Karst pertama di Asia Tenggara yang berada di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, secara resmi dibuka untuk umum, Rabu (2/6). Museum ini diharapkan menjadi pusat pembelajaran karst, sekaligus daya tarik wisata untuk menghidupkan ekonomi masyarakat di Wonogiri selatan yang cukup tertinggal.

Anisa Emilia (13) melirik beberapa potong stalaktit dan stalagmit yang baru kali ini dilihatnya secara langsung. Selama ini bebatuan berbentuk lancip di dalam gua yang terbentuk dari tetesan air itu hanya ia lihat di buku.

Bersama 14 teman sekolahnya di SD Negeri 2 Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Anisa menikmati sajian di dalam Museum Karst Indonesia yang dibuka untuk umum mulai hari Rabu (2/6).

Berbaur dengan ratusan undangan lain, Anisa menjelajahi ruang pamer yang diklaim Badan Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai Museum Karst pertama di Asia Tenggara, bahkan boleh jadi yang pertama pula di Asia.

Museum itu diprakarsai bersama Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Jateng, dan Pemerintah Kabupaten Wonogiri. Pembangunan dimulai pada Juli 2008 dan rampung pada Juni 2009. Lokasinya di kawasan sistem karst Gunung Sewu yang membujur di Pacitan (Jawa Timur), Wonogiri, dan Gunung Kidul (DI Yogyakarta). Bangunan itu berada di lahan seluas 2.028 meter persegi, dengan luas total tiga lantai sekitar 5.000 meter persegi. Lahan pendukung disediakan 29,86 hektar.

Lantai pertama museum mengusung tema ”Karst untuk Ilmu Pengetahuan”. Di sini Anisa dan pengunjung lain disuguhi beberapa panel poster yang berkisah soal kronologi pembangunan museum serta proses terbentuknya karst. Secara harfiah, karst diartikan sebagai bentang alam di permukaan atau di bawah permukaan yang berkembang pada batuan karbonat akibat proses pelarutan atau karstifikasi.

Di lantai dasar, pengunjung bisa menyaksikan tema ”Karst untuk Kehidupan”. Di lantai ini, pengunjung diajak menyaksikan diorama goa yang memiliki stalaktit dan stalagmit. Tergambar pula bagaimana karst kerap dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat karena gamping dari karst dibutuhkan untuk industri semen. Adapun lantai dua untuk ruang pertemuan.

Museum ini didukung keberadaan tujuh goa di sekelilingnya, seperti Goa Tembus yang panjang lorongnya sekitar 50 meter dengan dua mulut serta Goa Sodong dengan lorong mempunyai batuan stalaktit dan stalagmit, serta sungai bawah tanah.

”Museum ini didirikan untuk memberi pemahaman aspek kebumian dan peran karst dalam kehidupan manusia. Karst memiliki fungsi lindung dan fungsi ekonomi,” kata Kepala Badan Geologi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R Sukhyar.

Menurut Sukhyar, karst dengan bentang alam retak-retak memungkinkan air masuk ke dalam bumi, sekaligus mengalirkan air ke bawahnya. Dari sisi ekonomi, gamping pada karst dimanfaatkan untuk industri kapur maupun bahan baku semen. Keseimbangan antara fungsi lindung dan ekonomi sangat penting karena karst sukar diperbarui jika rusak. Proses pembentukannya perlu waktu ribuan bahkan jutaan tahun.

Bagi pelajar dan guru, pemahaman semacam ini bermanfaat. Sutarwanto (50), guru Geografi di SMP Negeri 2 Pracimantoro, langsung menugaskan 10 siswanya yang mengikuti pembukaan museum untuk mencatat berbagai informasi dan merangkumnya.

Bagi Sutarwanto, keberadaan museum yang modern ini seperti oase di tengah ketertinggalan kawasan Wonogiri bagian selatan.

Daerah ini gersang karena banyak mengandung karang. Pada musim kemarau, warga kekurangan air. Belum lagi infrastruktur jalan sebagian rusak, bahkan ada yang belum beraspal. Sarana transportasi juga terbatas. Akibatnya, dari 23.826 keluarga yang menetap di Pracimantoro, sebanyak 4.440 keluarga termasuk miskin dan 4.395 keluarga sangat miskin.

“Daerah kami ini sumber daya alamnya terbatas. Masyarakat sebagian besar bergantung pada pertanian meski hasilnya kekurangan,” tutur Camat Pracimantoro Kuswandi.

Pada musim kemarau, 30 persen warga memilih bekerja di perkotaan, seperti Semarang atau bahkan Jakarta.

Karena itu, muncul harapan agar museum ini tidak menjadi semacam menara gading yang jauh dari kehidupan warga. Jika museum ini tidak ”dibumikan” lewat gebrakan pariwisata yang memadai, warga tetap tidak bisa mendapatkan apa-apa.

Geliat pariwisata akan memunculkan pedagang makanan dan minuman, homestay, perajin suvenir, hingga geliat usaha bidang transportasi. Perputaran uang yang masuk bakal memajukan pembangunan desa. Dengan begitu, kata Kuswandi, warganya tidak perlu menjadi buruh di perkotaan.

Terlepas dari harapan itu, kini mereka hanya bisa menunggu kebijakan pemerintah. Apakah mereka bisa mendapat tetes rezeki dari Museum Karst Indonesia atau museum itu hanya menjadi menara gading yang jauh dari jangkauan.(Antony Lee)

Sumber :kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar